Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan “kelebihan”, ke-lebih-an tersebut dapat dijabarkan menjadi “lebih sempurna” dalam hal ciptaan hingga “lebih mulia” dalam hal pembandingan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Dibuktikan dengan awal penciptaan Adam sebagai nenek moyang manusia pertama, dijelaskan bahwa adam disaat setelah diciptakan, Tuhan memerintahkan semua makhlukNya (malaikat-jin) yang diciptakan sebelum Adam untuk bersujud kepada Adam (QS.18:50). Walau tidak semua makhluk mematuhi perintah Tuhan saat itu karena ada satu makhluk yang kemudian dilaknat oleh Tuhanya hingga hari kiamat karena tidak ikut sujud dengan beralasan ia lebih mulia dari adam (manusia) (QS.7:12). Mau ataupun tidak mau para makhluk tersebut untuk bersujud tetap saja tidak menghilangkan hakikatnya bahwa Adam sebagai representasi manusia saat itu lebih baik dari mereka.

Dari sekian banyak kelebihan yang disematkan oleh Tuhan kepada manusia yang dapat dikategorikan sebagai andalan adalah “akal” sebagai daya pikir yang berguna untuk memahami sesuatu, menyimpulkan sesuatu, berfikir kritis, bahkan sampai berfikir skeptis. Selanjutnya manusia dapat dikatogorikan lebih mulia dari malaikat jika dapat mengendalikan “hawa nafsu”nya. Komponen hawa nafsu bagi manusia adalah suatu hal harus ada dalam rangka melengkapi status kemuliaan manusia dibandingkan malaikat yang tidak diberkan hawa nafsu. Jikalau manusia tidak diberikan hawa nafsu kemudian diberi perintah oleh Tuhannya untuk selalu taat maka ini akan menjadikan manusia tidak jauh berbeda sifatnya dengan malaikat. Hawa nafsu menjadi ujian bagi manusia yang dengannya (penguasaan terhadap hawa nafsu) kemudian dapat dikategorikan manusia-manusia mana yang dapat di tipekan menjadi makhluk yang lebih mulia dari malaikat.

Inti dalam tulisan ini sebenarnya tidak bermaksud membanding-bandingkan antar makhluk ciptaan Tuhan. Dari sini mari kita berfikir sejenak dan merenungkan sebagaimana posisi kita sekarang. Sebagai makhluk yang dapat dikategorikan paling mulia diantara makhluk lain ciptaan-Nya, diberikan kelebihan akal untuk berfikir dan juga hawa nafsu sebagai ujian. Apakah kita tidak merasa khawatir akan kelalaian kita dalam mempergunakan kelebihan-kelebihan ini ?.

Bagi manusia yang tidak tertutup hidayah-Nya dan berpegang teguh pada “pedoman hidup manusia”, pastilah akan berfikir berkali-kali untuk seenaknya sendiri mempergunakan atau mempermainkan salah satu kelebihannya yakni kelebihan akal. Anugerah akal bagi manusia sudah seharusnya di pergunakan dengan sebaik-baiknya dengan dipandu oleh pedoman hidup manusia. Tanpa pedoman tersebut manusia yang dalam fitrahnya sudah terinclude hawa nafsu sangatlah rawan terbawa kearah yang salah.

Maka sungguh mengecewakan jika ada manusia yang diberikan anugerah akal yang terasah dengan baik, tutur kata yang tersusun dengan apik, hingga dapat berfikir secara kritis fundamentalis, tetapi tidak dapat mengendalikan hawa nafsu dengan sebaik-baiknya, semua hal-hal yang menabrak ketentuan-ketentuan Tuhan tidak dipedulikannya. Pedoman yang sebenarnya ia tahu tetapi ia campakkan atau pun minimal menyaring bagian-bagian darinya yang hanya sebagai penguat argumen akal liarnya.

Apakah seperti ini bisa dikatakan sebagai manusia yang baik dan mulia ?, yang dengan (akal) seenaknya sendiri merendahkan, atau meremehkan manusia lain yang tidak secakap dirinya. Menantang dengan akal pikirannya yang bebas dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas kepada manusia lain yang tidak diberikan anugerah akal pikiran secakap dirinya. Mengombang-ambingkan manusia lain dengan berbagai macam argumen yang bertentangan dengan pedomanya. Mengajak berfikir kearah sesuatu yang diluar jangkauan atau batasan kebolehan ia memikirkannya.

Anugerah kelebihan akal yang diberikan Tuhan seperti yang telah dipaparkan diatas seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik. Digunakan untuk mengajak manusia lain kejalan yang benar. Atau pun dapat untuk mengkritisi hingga mendebat pendapat-pendapat yeng bertentangan terhadap ketentuan-ketentuan Tuhan yang telah termaktub dalam kitab pedoman hidup manusia. Menjadi bagian dari makhluk Tuhan yang berjuang di jalan yang baik dan benar.


Sedangkan bagi manusia yang tidak diberikan anugerah kelebihan akal yang seperti disampaikan diatas tetapi tetap berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan Tuhan yang telah termaktub dalam kitab pedoman manusia maka sudah sepantasnya bersyukur dan berprasangka baik kepada Tuhan bahwa Tuhan tidak memberikan kelebihan akal tersebut demi terjaganya ketaatan manusia tersebut pada Tuhan-Nya. Hingga akhirnya dapat menyelamatkannya didunia hingga akhirat. Bukan sebaliknya, sedih dan menganggap Tuhan tidak adil. Inilah yang seharusnya perlu diluruskan. Enaknya Nyangkem sejatinya merupakan ujian bagi Tuhan, bagaimana seorang makhluk dapat mengendalikannya. Semoga Tuhan selalu memberi bimbingan bagi kita. Tuhan yang Maha Mengetahui.