Manusia sebagai makhluk yang
diberikan akal oleh Tuhan sudah sepantasnya memanfaatkan anugerah tersebut
dengan sebaik-baiknya. Kemampuan manusia dalam berfikir atau memahami sesuatu
ini memiliki banyak manfaat jika digunakan dengan baik, dan tak sedikit
menimbulkan madharat jika salah digunakan. Anugerah lain yang cukup
penting bagi manusia adalah hawa nafsu atau keinginan terhadap sesuaitu. Sama
seperti akal, hawa nafsu jika tidak diarahkan atau salurkan kepada jalan yang
baik dan benar akan menimbulkan keburukan.
Kemampuan-kemampuan yang ditanamkan
pada manusia tersebut sesungguhnya dapat mengangkan derajat manusia itu
setinggi-tingginya jika arahnya benar dan tidak menyalahi segala aturan Tuhan.
Kemudian juga sebaliknya jika kemampuan tersebut terarahkan pada jalan yang
salah dan melanggar berbagai aturan atau tuntunan Tuhan maka bukan tidak
mungkin manusia tersebut akan rendah serendah-rendahnyalah derajat manusia
tersebut.
Dari berbagai aktivitas yang
melibatkan dua elemen anugerah tersebut ada satu contoh yang mempengaruhi muamalah
atau hubungan kepada sesama manusia, yakni prasangka. Prasangka atau sama
artinya dengan dugaan merupakan sebuah aktivitas dimana seseorang itu telah
melakukan sebuah penilaian terhadap sesuatu sebelum mengetahui fakta secara
relevan mengenai apa yang dinilainya. Pengertian prasangka ini secara umum maka
tidak mengarah secara langsung apakah penilaian tersebut bermakna negatif atau
sebaliknya.
Dalam Al-Qur’an disebutkan “Wahai
orang-orang yang beriman ! Jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian
dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang lain,
dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah
ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik. Dan
bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.
(QS. Al-Hujurat : 12)”. Selain ayat Qur’an tersebut dipertegas kembali
Hadits yang berbunyi : “Jauhilah sifat berprasangka karena sifat
berprasangka itu adalah sedusta-dusta pembicaraan. Dan janganlah kamu mencari
kesalahan, memata-matai, janganlah kamu berdengki-dengkian, janganlah kamu
belakang-membelakangi dan janganlah kamu benci-bencian. Dan hendaklah kamu
semua wahai hamba-hamba Allah bersaudara.” (HR. Bukhori). Selanjutnya
hadits yang memperjelas makna, yakni “Dari Abi Hurairah Ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : Jauhkanlah diri kamu daripada
sangka (jahat) karena sangka (jahat) itu sedusta-dusta omongan, (hati)”.
(Muttafaq ‘alaihi).
Dalam dalil Qur’an diatas disebutkan
secara umum bahwa sebagian dari prasangka diperintahkan untuk kita jauhi.
Sedangkan dalam Haditsnya juga disebutkan bahwa sifat berprasangka
diperintahkan untuk dijauhi. Dalam pengertian “prasangka” yang disebutkan dalam
Al-Qur’an diatas pasti bermakna “prasangka buruk”, karena penjelasan dari
hadist yang terakhir selain itu juga sebab tidak akan mungkin agama yang pasti
baik dan benar ini (Islam) mengajarkan untuk meninggalkan atau menjauhkan diri
pada prasangka baik atau lawan dari prasangka buruk. Jadi makna dari ayat tersebut
dapat disimpulkan bahwa kita diperintahkan untuk menjaukan diri dari sebuah
prasangka yang sifatnya buruk atau sering disebut suudzon.
Dalam kaidah Ushul Fiqih pada
bagian An-Nahyu (larangan) disebutkan bahwa “Larangan terhadap
sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”. Dari kaidah tersebut maka
dapat kita simpulkan bahwa jika kita diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa
Ta’ala untuk menjauhi prasangka buruk maka kita diperintahkan untuk
mendekati atau melakukan prasangka yang baik atau berhusnudzon. Inilah
yang menjadi kunci dari apa yang diperintahkan Allah kepada orang-orang yang
beriman.
Cukup naif jika kita mengaku beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya tidak mengindahkan apa yang diperintahnya. Meski
hal-hal seperti prasangka ini dapat dianggap kecil, tetapi memiliki dampak yang
besar tetapi tetap dengan proses. Sungguh akan menjadi lingkungan yang baik,
nyaman dan aman jika salah satu elemen ini kita implementasikan dengan
sebaik-baiknya. Kemudian jika ada pertanyaan, apakah perintah prasangka baik
atau husnudzan ini bermakna menyeluruh dalam segala keadaan ?.
Jawabannya adalah tidak. Jika telah nampak secara terang dan jelas ada orang
lain yang melakukan sesuatu yang terlarang maka perintah untuk husnudzan tidak
dapat kita gunakan. Contohnya jika kita melihat dengan mata kepala sendiri
bahwa teman kita melakukan aksi pencurian terhadap barang orang lain, maka kita
tidak bisa mencari-cari alasan-alasan yang kemudian menghasilkan kesimpulan “pembenaran”
aksi tersebut.
Selanjutnya dalam muamalah atau
hubungan terhadap sesama manusia, kita juga harus menghindari hal-hal yang
dapat menimbulkan suatu prasangka buruk. Konsepnya, kita dilarang untuk
berprasangka buruk tetapi juga tidak baik membuat peluang orang lain untuk
berprasangka buruk. Dengan kata lain kita menghindari larangan dan tidak
membuat peluang suatu larangan. Contohnya ialah tidaklah elok terlalu sering
mendatangi tempat-tempat yang dianggap tempat maksiat, walaupun yang
bersangkutan tidak melakukan suatu kemaksiatan pun. Sebab pada umumnya
orang-orang akan beranggapan jika ada sesorang yang berada di tempat maksiat
secara otomatis ia disinyalir melakukan hal-hal maksiat disana. Jadi kuncinya
ialah peluang timbul prasangka itu akan muncul jika kita melakukan hal
tersebut.
Kemudian, ada statemen yang menarik bertema
prasangka yang sering terjadi. Tentang berprasangka buruk dengan makna sikap berantisipasi
atau menjaga diri. Hal seperti ini terkadang rancu dalam pemaknaannya.
Terkadang jika ada seseorang yang belum pernah kita kenal sebelumnya datang
menghampiri kita sikap yang kebanyakan orang lakukan adalah bersikap eksklusif
atau menjaga jarak bahkan hingga tak jarang acuh tak acuh. Sikap-sikap seperti
ini lumrah terjadi dikalangan masyarakat pada umumnya. Dari sinilah kemudian
kita harus mengingat kembali tentang hadits nabi yang memerintahkan kita
menyebarkan salam kepada setiap muslim. Sehingga terhadap orang yang belum
dikenal, sampaikan ucapan salam terlebih dahulu sebagai sikap syi’ar Islam
kepada orang tersebut terutama jika kita tahu ia seorang muslim. Sikap
berhati-hati itu penting tetapi kita juga jangan terlalu terbawa kepada sikap
kehati-hatian yang berlebihan sehingga muncul prasangka negatif. Karena
disetiap sikap kita harus adil atau sesuai dengan porsinya, tidak berlebihan.
Dikasus yang lain dengan mengusung
tema yang sama dapat kita lihat salah satu kisah Nabi Muhammad Shalallahu
‘Alaihi Wasalam dengan salah satu sahabatnya yang bernama Abdullah bin
Ummi-Maktum yang kemudian diabadikan dalam kitab suci Umat Islam Al-Qur’an
dalam Surah ‘Abasa. Kisah ini merupakan kisah dimana Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasalam di tegur oleh Allah Subhanahu Waa Ta’ala terhadap
sikap nabi yang bermuka masam terhadap Abdullah bin Ummi-Maktum. Dari kisah
ini, jika dilihat dari sudut pandang yang satu arah yakni mengenai sikap nabi
bahwa beliau bermuka masam terhadap salah seorang sahabat yang buta diamana
sahabat tersebut menginginkan dibacakan ayat Al-Qur’an maka secara langsung
nabi dianggap tidak menunjukkan sikap seorang yang baik. Kemudian bagi
orang-orang yang membaca hanya sekilas dari Al-Qur’an tanpa membaca Asbabun
Nuzul dari ayat tersebut maka sikap penilaianya terhadap Rasul akan sama
dengan yang sebelumnya yakni menilai nabi tidak menunjukkan akhlak yang baik.
Kisah nabi yang bersikap masam ini
sesungguhnya tidak serta merta tanpa alasan yang jelas. Dalam Asababun Nuzul
dari ayat ini disebutkan bahwa nabi saat diminta diajarkan ayat Al-Qur’an
oleh Abdullah bin Ummi Maktum yang buta tersebut sedang melakukan diskusi atau
dialog dengan para pembesar Quraisy. Diskusi dengan para pembesar tersebut
dinilai oleh nabi akan bermanfaat kepada kebaikan tersebarnya Islam dengan
lebih luas jika dapat mengajak para pembesar tersebut masuk Islam, jadi ini
menjadi momen yang penting terhadap perkembangan Islam. Alasan tersebut
sesungguhnya merupakan alasan yang biasa jika keadaanya seperti itu. Dan sikap
Rasul tersebut walaupun dianggap lumrah atau manusiawi, hanya kurang layak
saja. Sikap tersebut tidak sampai merusak sendi-sendi kepribadian Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasalam yang lainnya, setelah ada penjelasan lebih mendalam
terhadap sikap nabi ini. Sesunggunya dari kisah ini pun kemudian dapat
menghadirkan manfaat, ketika menjadi pembuktian atas keontentikan Al-Qur’an
buka sebuah karangan atau tulisan dari nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wasalam. Karena logikanya tidaklah seorang penulis memperburuk dirinya
sendiri dalam bukunya.
Dari kisah yang terakhir ini dapat
kita ambil pelajaran mengenai inti dari sikap prasangka, ketika Rasul bersikap
masam. Jika ada seseorang kitas sebut si “A” tidak menanggapi pembicaraan orang
lain yang disebut si “B”, maka bukan sikap yang baik jika kita langsung
memvonis seseorang tersebut sebagai sikap tak menghargai orang. Maka sikap terbaik
pertama yang harus dilakukan adalah tabayun atau mengkonfirmasi mengenai
sikap si “A” yang tidak menanggapi si “B”. Bisa jadi sikap si “A” yang tidak
menanggapi si “B” karena ada sesuatu yang lebih diutamakan oleh si “A” dalam
hal ini ia nilai lebih manfaat atau maslahat. Atau jika si “A” menaggapi
pembicaraan si “B” dinilai akan menimbulkan madharat. Maka sikap tidak
menanggapi atau diamnya si “A” terhadap si “B” merupakan sikap terbaik. Jadi
tidak layak jika langsung menilai negatif atau bersu’udzon terhadap
sikap si “A” terhadap si “B”. Contohnya seperti jika ada seorang ayah tidak
menanggapi permintaan anaknya yang meminta dibelikannya sebuah motor. Ayah
tersebut bersikap “tidak menanggapi” permintaan anaknya tersebut karena melihat
kebaikan untuk anaknya tersebut adalah untuk tidak dibelikan terlebih dahulu
sebuah motor untuk dirinya karena status umur dari anak tersebut masih dibawah
umur. Maka dari penjelasan ini, jika ayah anak tersebut mau membelikan anaknya
motor, maka ayahnya telah memilih sikap yang kurang tepat dan kurang baik
karena memberikan motor kepada anak yang dibawah umur dan melanggar hukum yang berlaku
jika diizinkan anaknya mengendarai motor dengan keadaan seperti itu.
Sebuah sikap seseorang tidaklah baik
jika langsung divonis negatif (su’udzon) ketika sikap tersebut masih
memiliki peluang yang besar untuk kebaikan atau kemaslahatan. Sikap terbaik
adalah bertabayun atau mengkonfirmasi sikapnya. Sabar kemudian menjadi
kunci terhadap sikap tersebut. Seperti yang disebutkan dalam ayat terakhir
surah Al-Ashr yang menyebutkan kita harus saling “. . saling menasihati
dalam kesabaran”. Karena sikap sabar adalah sikap mulia seperti yang
dijelaskan dalam surah Az-Zumar ayat 10 “. . hanya orang-orang yang
bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. Apalagi jika
kemudian sikap sabar tersebut diiringi dengan sikap husnudzon. Wallahu A’lam.
Oleh : Shofian Rahmat
Oleh : Shofian Rahmat

COMMENTS