“Kita manusia ini, hidup didunia hanya sekali untuk bertaruh : sesudah mati akan mendapatkan kebahagiaankah atau kesengsaraankah ?” (KH. Ahmad Dahlan). Normalnya manusia menginginkan kebahagiaan, bahagia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan sebagai “keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan)”.
Dari penjelasan tersebut sudah jelas bahwa kebahagiaan menjadi hal yang diharapkan untuk dirasakan oleh setiap manusia yang memiliki akal yang sehat. Dalam konsep Islam pengertian kebahagiaan tidak hanya dimaknai dalam lingkup dunia tetapi mencakup hingga kehidupan pasca-dunia. Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam pendanganya mengenai kebahagiaan menjelaskan bahwa : kebahagian (sa’adah) mencakup kebahagiaan dunia dan kebahagian akhirat sebagai puncak kebahagiaan (ultimate happiness). Selanjutnya dijelaskan juga untuk mendapatkan pemahaman tentang kebahagiaan tersebut dapat diperoleh melalui pemahaman tentang kesengsaraan (syaqawah) atau ketidakbahagiaan.
Kesengsaraan dalam pengertiannya merupakan sebuah lawan dari kebahagiaan. Manusia dengan akal yang baik sudah pasti berusaha menghindarkan atau menjauhkan dirinya kepada hal-hal yang dapat mendatangkan kesengsaraan. Bagi kita sebagai seorang muslim kesengsaraan yang paling besar dan berat adalah ketika kehidupan pasca-kematian (akhirat) mendapatkan siksa neraka. Usaha untuk menjauh dari hal-hal yang dapat mendatangkan kesengsaraan sudah barang tentu harus dipikirkan oleh orang-orang yang mengaku beriman. Tentunya usaha tersebut harus sesegera mungkin dituntaskan ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala masih memberikan waktu hidup didunia.
Aktivitas-aktivitas yang mendatangkan kebaikan untuk bekal kehidupan setelah mati harus terus menerus dilakoni. Amalan yang memiliki nilai tinggi sehingga menambah banyak peluang kebahagiaan di akhirat jangan sampai ditinggalkan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” [QS. Ali Imran : 92]. Ayat tersebut menjelaskan pentingnya amalan shadaqoh dari harta yang kita cintai sehingga disebutkan sebagai kebajikan (yang sempurna). Perintah tersebut juga dijelaskan lebih detail dengan hadits berikut : “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, dia berkata : Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu dia datang kepada Nabi saw untuk meminta pertimbangan tentang tanah itu, kemudian ia berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, dimana aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku selain dari padanya; maka apakah yang hendak engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengannya ? Rasulullah saw berkata kepada Umar : Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya. Lalu Umar pun menyedekahkan manfaat tanah itu dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak akan dihibahkan dan tidak akan diwariskan. Tanah itu dia wakafkan kepada orang-orang fakir kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil, dan tamu, dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusnya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf dan memakannya tanpa menganggap bahwa tanah itu miliknya sendiri.” [HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 13-14].
Salah satu amalan yang mulia dan memiliki peluang kebaikan yang berlipat ganda ialah amalan Wakaf seperti yang telah disebutkan dalam hadits tersebut. Wakaf yang merupakan aktivitas sedekah harta untuk kepentingan ummat secara umum, sangat penting untuk menjadi pilihan amalan dalam menyambut kebahagian akhirat. Mengapa seperti itu ?, karena buah pahala dari amal tersebut dapat terus mengalir bahkan hingga kita telah selesai dari kehidupan dunia. Hal ini dasarkan dalam hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam : “Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga, yaitu : shadaqoh jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo’akan kepadanya.” [HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 14] .
Kesengsaraan merupakan keniscayaan bagi orang-orang yang dalam berkehidupan dunia menyianyiakan peluang-peluang kebaikan. Wakaf menjadi salah satu solusi kesiapsiagaan kita dalam menghindarkan diri dari kesengsaraan yang paling puncak (neraka). Muslim yang baik adalah muslim yang cerdas dalam merancang strategi untuk mendapatkan kebahagiaan yang paling puncak. Pilihan tersebut kembali kepada diri kita, apakah akan menyianyiakan peluang kebaikan yang mulia ini atau mengambil kesempatan tersebut. Seperti yang diutarakan KH. Ahmad Dahlan diawal tulisan ini, ketika Allah Shubhanahu Wa Ta’ala memberikan kesempatan kita sekali didunia untuk mencari bekal setelah mati. Maka menyianyiakan kesempatan ini adalah sebuah jalan yang merugi, karena setelah mati pilihan kita hanya dua yakni : “kebahagiaan” atau “kesengsaraan”. Hidup adalah pilihan, dan pilihan yang terbaik adalah pilihan yang memberikan kebahagiaan, dan kebahagiaan yang paling puncak adalah ketika kehidupan setelah mati mendapatkan keridhoan-Nya untuk menetap di Surga-Nya. Semoga Allah Shubhanahu Wa Ta’ala menunjukkan jalan kita dan memudahkan segala urusan kita. Aamiin.

COMMENTS