Sebagai kaum muslim kita sudah sepantasnya banyak
bersyukur atas anugerah iman. Anugerah yang tidak berlaku untuk sembarang orang
dimuka bumi ini. Dari tujuh miliyar sensus penduduk dimuka bumi orang-orang
yang diberi anugerah iman hanya kurang lebih satu setengah miliyar. Jadi jika
dihitung kita yang beruntung ini sementara hanya berjumlah seperempat penduduk
di muka bumi ini. Subhanallah.
Allah Subhanahu Wa Ta’la melalui utusan-Nya,
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam telah menurunkan Islam sebagai
keberlanjutan ajaran tauhid yang telah dibawa nabi-nabi sebelumnya. Ajaran yang
menjadi jalan keselamatan bagi manusia pasca kehidupan setelah mati. Istimewanya,
Islam sebagai syariat terakhir dari ajaran tauhid ini berlaku untuk seluruh
umat manusia. Syariat yang dibawa Nabi terakhir ini menjangkau seluruh umat
dimuka bumi dan berlaku hingga akhir zaman.
Islam juga termasuk agama dakwah, bahasa lainnya
agama mission. Dalam Islam setiap muslim diperintahkan untuk mensyiarkan
Islam, mendakwahkan Islam, sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa ayat
dalam Al-Qur’an selah satunya dalam QS. Ali-Imran 3:104 . Ayat inipun kemudian
menjadi dalil bermunculannya berbagai gerakan Islam sebagai wujud kaum muslimin
memenuhi seruan perintah Tuhannya.
Berbicara agama mission kita kemudian
akan berjumpa agama yang lebih lekat istilah missionnya dibandingkan
Islam. Agama tersebut ialah Kristen yang berkembang masif di wilayah barat. Pergerakan
Islam dan Kristen sebagai bagian dari peradaban dunia cukup mencuri perhatian
seluruh penduduk dunia. Berbagai konflik besar pun pernah terjadi diantara dua
kekuatan ini, contohnya seperti Perang Salib yang berjilid-jilid.
Sebagai agama mission, Islam dan Kristen
bersaing memperebutkan pengaruhnya kepada penduduk bumi. Islam sebagai agama
yang membawa syiar tauhid yang telah dibawah para utusan Allah Subhanahu Wa
Ta’la di masa sebelumnya, kini harus berhadapan dengan sebuah syiar nabi
sebelumnya (Isa ‘Alaihisalam) yang telah diamandemen oleh para
penganutnya (Kristen). Persaingan antara Haq dan Batil tidak akan
pernah selesai hingga akhir zaman dan dari pihak yang syariatnya sudah
diamandemen pun tidak akan pernah rela untuk mengalah seperti yang telah dijelaskan
dalam QS. Al-Baqarah 2:120.
Jika dizaman dahulu persaingan antara Haq
dan Batil bisa dibilang banyak yang terang dan jelas adanya. Mudah membedakan
antara mana yang musuh dan mana yang teman. Kini di era Revolusi Industri 4.0
semua telah berubah. Mudah sekali kita temui kabar-kabar bohong, paham-paham
yang menyeleweng hingga ujian-ujian yang lain cukup membuat umat terpedaya. Penyikapan
terhadap berbagai fitnah ini harus benar-benar difikirkan oleh kaum muslimin.
Sehingga kaum muslimin tidak mudah terpedaya terhadap berbagai fitnah tersebut.
Hal yang cukup menarik perhatian terutama jika
telah masuk pada bulan istimewa kaum muslimin yakni bulan Ramadan. Peristiwa ini
pun sering kali terjadi disetiap tahunnya terutama di negeri dengan penduduk muslim
terbesar di muka bumi, Indonesia. Yang menarik tersebut ialah tentang kasus buka
terang-terangannya warung makan pada siang hari di bulan ramadan. Hampir setiap
tahun penulis temui sikap ketidaksetujuan sebagian masyarakat atas adanya peraturan
daerah (perda) tentang larangan membuka warung. Menariknya hal ini yang paling sering
diblowup oleh media nasional.
Usaha memblowup ini seolah-oleh dibuat
untuk mendeskreditkan Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini sebagai agama
intoleran. Agama mayoritas yang tidak menghormati agama lain dan berbagai
istilah-isitlah yang cukup mengusik hati. Hal ini tidak terjadi ketika perda (mirip)
yang dinilai intoleran tersebut terjadi di wilayah yang agama lain menjadi mayoritas.
Suara-suara sumbang tidak cukup nyaring terdengar seperti apa yang terjadi terhadap
perda yang berbau keislaman. Dalam faktanya perda tersebut sesungguhnya dibuat
untuk kemaslahatan bersama setelah adanya musyawarah di dalam forum DPRD setempat.
Para wakil rakyat didalam forum DPRD
menjadi penentu baik tidaknya peraturan tersebut dibuat setalah melihat keadaan
masyarat di wilayahnya. Ketika masyarakat mayoritas muslim menginginkan adanya peraturan tersebut maka masyarakat
non-muslim harus menghargai dan menghormati keputusannya, begitu pula sebaliknya
ketika kejadiannya non-muslim sebagai mayoritas diwilayah tersebut. Saling menghargai
dan menghormati menjadi kunci kemaslahatan sehingga terhindar dari suatu mafsadat
yang timbul.
Contoh kasus dapat kita lihat dari
pengakuannya pemerintah pusat terhadap penerapan syariat Islam di Aceh. Pemerintah
pusat secara tidak langsung telah mengimplementasikan kaidah ushul : “menghilangkan
mafsadat didahulukan daripada mengambil manfaat”. Aceh menjadi salah satu
daerah istimewa di Indonesia setelah menimbang kemafsadatan atau kemadharatan
dapat terhindarkan jika pemerintah pusat menyetujui kebutuhan masyarat tersebut.
Kemudharatan yang dimaksud disini ialah seperti semakin kuatnya usaha keluarnya
Aceh dari NKRI hingga memuncaknya konflik bersenjata yang banyak memakan korban
jiwa.
Kembali terhadap permasalahan penertipan
diatas maka sudah menjadi hal yang wajar jika aparat penegak hukum memberi
peringatan bahkan sanksi terhadap para pelanggar. Peraturan yang telah dibuat sudah
menjadi kesepatan bersama masyarat yang diwakili para wakilnya di DPRD. Tetapi
dalam hal ini perlakuan represif yang berlebihan dari aparat juga perlu kita
kritisi. Bentuk penindasan yang merugikan warga yang khilaf juga tidak
dibenarkan karena memang sebagaimana manusia sebagai tempatnya salah dan lupa.
Indonesia sebagai negeri yang religius,
hingga menjadikan Ketuhanan yang Maha Esa menjadi poin pertama dalam dasar
negeranya sangat lazim jika segala hukum di Indonesia didasarkan dalam pandangan
keagamaan. Sehingga kurang tepat jika ada sesuatu yang berkaitan dengan
keputusan hukum yang keluar dari negeri ini tanpa melibatkan nilai agama yang
menjadi dasar keputusan. Pemahaman yang menyebutkan perda agar tidak mengikutsertakan
padangan keagamaan kurang elok jika tetap dipertahankan, dan bisa jadi
melanggar sila pertama dari dasar negara.
Dalam kacamata Islam semua hal tidak ada yang
tidak terbahas. Islam mengatur segala aspek kehidupan dan tidak terbatas dalam
urusan pribadi semata. Islam sebagai agama dakwah mengajarkan umatnya untuk
menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Tak sampai
disitu, Islam juga menunjukkan jalan keselamatan di dunia hingga kehidupan pasca-dunia.
Wajar jika seruan perda berbau keislaman terus diusahakan dari para kaum
muslimin. Hal tersebut sebagai bentuk syiar keislaman kepada seluruh umat baik
kaum muslim mau pun non-muslim.
Kebanggaan kita terhadap Islam jangan
sampai kita campakkan hanya karena sebuah toleransi yang salah arti. Bulan
ramadan menjadi ajang syiar keislaman kita kepada seluruh umat manusia. Jangan
sampai salah langkah, jangan salah berpresepsi sehingga dapat menusuk diri sendiri.
Semoga Allah Ta’ala selalu menunjukkan jalan dan terhindar dari segala
paham yang menyelewang dan usaha penyelewengan paham, sehingga amal ibadah kita
diterima oleh-Nya. Dan kebahagiaan hakiki kita dapatkan, bersama Islam
sebagai jalan hidup kita. Wallahu’alam.

COMMENTS