Semangat
berhijrah di beberapa tahun terakhir ini menjadi sebuah fenomena tersendiri
bagi masyarakat Islam khususnya. Fenomena ini semakin berkembang pesat dengan
munculnya artis-artis yang memperkenalkan dirinya yang baru di muka umum bahwa
ia berbeda dengan sebelumnya. Berkembangnya fenomena-fenomena ini menjadi bukti
bahwa dakwah Islam masih eksis bahkan kembali memperlihatkan taringnya.
Tetapi di Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar sedunia ini istilah hijrah menjadi suatu hal yang menarik untuk diperbincangkan, baik bernada negatif maupun positif.
Tetapi di Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar sedunia ini istilah hijrah menjadi suatu hal yang menarik untuk diperbincangkan, baik bernada negatif maupun positif.
Hijrah
dalam pengertiannya sendiri memiliki dua makna yang khusus. Pengertian pertama,
apa yang pernah kita dengar dari para guru-guru kita terutama dalam pelajaran
sejarah Islam, disebutkan bahwa makna hijrah seperti yang Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam dan para Sahabat pernah lakukan yakni berpindahnya dari
satu tempat ke tempat yang lain. Selanjutnya dalam pengertian yang kedua,
hijrah yang dimaksud dalam pembahasan kali ini, yakni berpindah dari segala
sesuatu yang dilarang oleh Allah Subhanahu Waa Ta’ala menuju suatu
ketaatan kepada-Nya. Kata hijrah ini jika kita perluas kembali pembahasannya,
maka akan muncul juga makna hijriyah sebagai pengabadian momen pertama kalinya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam hijrah dari Makkah ke Madinah yakni
perhitungan tahun kalender kebanggaan kaum muslimin, walaupun sering
terlupakan.
Dalam
pemaknaan hijrah sebagai perpindahan seorang muslim dari yang dahulunya tak
segan melanggar perintah Tuhannya menuju ketaatan kepada-Nya, maka pengertian
ini menjadi sebuah makna yang positif dan tak dapat dinilai negatif sedikit
pun. Sebagai seorang muslim normalnya tak akan mungkin menilai pemaknaan hijrah
diatas sebagai hal yang negatif. Mengenai dalilnya sudah jelas “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56). Pastilah jika dia mengaku muslim dan memiliki pemahaman
tentang Islam, dukungan terhadap “hijrah” ini pasti muncul. Dan otomatis bagi
seseorang yang mengaku muslim tetapi terkesan menganggap negatif istilah hijrah
tersebut maka identitas muslimnya patut dipertanyakan. Walaupun dalam
pembahasan secara lebar bisa jadi kemudian muncul wacana-wacana lain yang
mensyaratkan pengertian hijrah secara positif tersebut.
Wacana-wacana
yang berkembang mengenai pemaknaan hijrah yang mengarahkan pada “hijrah yang
bersyarat” disinyalir datang dari mereka yang memiliki sudut pandang yang
berbeda dengan arus utama pemahaman ke-Islam-an. Penelitian yang datang dari
pihak mereka kemudian memunculkan informasi bahwa ada arus-arus paham
ke-Islam-an di Indonesia yang beraneka ragam. Disebutkanlah gerakan-gerakan
yang bersifat underground dibuka secara lebar yang dalam penjelasan tersebut
gerakan tersebut masuk dalam kriteria gerakan yang terlarang di beberapa negara
termasuk di Indonesia. Disebutkan bahwa gerakan tersebut mempengaruhi melalui
buku-buku bacaan. Dari mulai gerakan yang terkesan halus, hingga gerakan yang
terkesan tegas pun disebutkan dengan penggambaran makna yang cenderiung
tendensius.
Sudut
pandang atau wordview yang berbeda dalam pembahasan ini kemudian yang
menjadi sebuah jawaban mengenai pemaknaan berbeda hijrah tersebut. Hijrah yang
seharusnya dapat disepakati bahwa itu baik kemudian muncul wacana bahwa hijrah
tersebut baik teteapi harus memiliki beberapa syarat sesuai sudut pandang
mereka. Hingga kemudian makna hijrah menjadi kabur, atau tidak hanya sekedar
berpindah dari yang tak taat menjadi taat.
Sebagai
umat Islam yang berada di arus utama Islam, kita akan mendengar bahwa ada
istilah washatiyah atau pertengahan. Dijelaskan bahwa pertengahan disini ialah
tidak ekstrem kiri mau pun kanan. Ekstem kanan yakni bermakna terlalu
berlebihan dalam beramaliyah kepada Tuhan hingga meninggalkan sunnah yang
diajarkan nabi. Selanjutnya ada lawan dari ekstrem kanan yakni terkesan terlalu
memudah-mudahkan, mencari kesempatan sebanyak mungkin untuk tidak mendekatkan
diri kepada Tuhan. Kedua Ekstremis ini sama-sama tidak baik, dan yang baik
ialah yang pertengahan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah kepada kita
semua.
Menjawab
hal tersebut sebagai Islam Washatiyah, maka tidak elok jika apa yang sudah baik
seperti hijrah ini perlu syarat-syarat khusus, kecuali dalam hijrah tersebut
ternyata menjurus kearah ekstrem kanan yang sifatnya berlebih-lebihan dan tidak
sesuai sunnah. Hijrah yang kita saksikan di dilayar kaca ataupun diberita
media-media kebanyakan memiliki sifat yang baik dan hampir tidak ada yang
mencontohkan ke arah yang ekstrem. Kaum muslimah yang sebelumnya tidak berhijab
kemudian memilih berhijab dengan baik dan benar atau kaum muslimin yang
sebelumnya jarang sholat lima waktu kemudian memilih untuk sholat lima waktu,
contoh-contoh seperti inilah yang seharunya kita dukung sepenuh hati. Mengenai
berpakaian hingga bersikap walaupun memiliki perbedaan baik madzhab maupun
ijtihad ulama haruslah dipahami dengan baik. Hal-hal yang sifatnya sudah
kesepakatan seluruh kaum muslimin atau telah baku mengenai hukum sesuatu juga
harus kita pahami dengan benar. Bukan malah sebaliknya, hal-hal yang sifatnya
telah baku dan tidak dapat dirubah dalam hal syariat dicoba ditentang dengan
berbagai kompromi-kompromi sesuai hawa nafsu.
Gerakan-gerakan
Islam yang memiliki cara pandang berbeda dalam taraf furu’ (cabang)
tidak perlu kita perlebar perbedaanya. Tetapi jika pemahaman cara pandang
tersebut telah menjurus pada hal-hal yang bersifat ushul (pokok) agama
maka harus kita cegah perbedaannya. Ada gerakan yang mewajibkan para
perempuannya mengenakan cadar atau penutup muka tetapi kita yang tidak
sependapat terhadap mereka maka kita tidak elok menentang apa yang mereka
jalani, karena sifat perbedaan tersebut masih bertaraf furu’. Tetapi
kita semua sependapat bahwa hijab bagi perempuan adalah wajib karena telah di
jelaskan sejelas-jelasnya dalam Al-Qur’an. Perbedaan mengenai adanya gerakan
yang tidak mewajibkan hijab bagi perempuan secara fisik dan memaknai hijabnya
hanya sebatas hati saja inilah yang seharusnya dipertentangkan karena telah
nyata-nyatanya menyalahi apa yang ada dalam Al-Qur’an.
Menyikapi
pemahaman hijrah ini kemudian dapat disimpulkan bahwa menentang apa yang mereka
pilih merupakan hal yang salah. Mengenai perbedaan malah-malah yang bersifat furu’
maka sangat tidak elok jika terlalu dibesar-besarkan hingga mempersempit
peluang persatuan antar kaum muslimin. Sikap terbaik bagi seorang muslim jika
melihat fenomena hijrah ini ialah mendukung dengan sepenuh hati atau bahkan
diiringi dengan bimbingan bagi mereka yang keteguhan akan hijrahnya masih perlu
adanya sokongan dari pihak lain. Bukan malah sebaliknya, jika ada saudaranya
memutuskan berhijrah dari perilaku keburukan tetapi malah dicela dan dicaci. Menilai
apa yang saudaranya lakukan adalah keputusan yang sia-sia.
Di
gerakan Islam manapun jika saudara muslim kita menemukan semangat ber-Islam
yang lebih baik dari sebelumnya, maka tugas kita adalah membantu menguatkannya.
Dari gerakan Islam manapun jika itu yang menjadikannya bertambah dekat dengan
Tuhannya dengan tetap dalam jalan sunnah nabi maka bantuan kita terhadap mereka
dalam memperteguh semangat Islamnya adalah sebuah nilai ibadah yang besar bagi
kita. Maka jangan siakan kesempatan ini, hijrahnya saudara kita menjadi ladang
amal sholeh kita. Tinggal sikap kita terhadap mereka seperti apa ?.
Mendukungkah atau mau sebaliknya ?.
Oleh : Shofian Rahmat Apria

COMMENTS