Beberapa pekan yang lalu bangsa Indonesia kembali mendapat ujian dimana ada segelintir orang dengan mengatasnamakan Islam membuat sebuah kegaduhan yang cederai semangat kebhinekaan di Indonesia. Mereka dengan berani melakukan aksi teror hingga pengeboman di beberapa tempat di Indonesia. Sebuah tindakan yang sungguh tidak beradab dengan membawa embel-embel Islam. Islam sebagai agama perdamaian tidak pernah ada dalam berbagai literatur-literatur arus utama yang melegalkan segala bentuk aksi teror yang dipraktikkan oleh para pelaku. Bahkan agama lain di Indonesia pun khusunya tak pernah ada ajaran yang mengarahkan kepada aksi teror yang merugikan orang lain.

Pemahaman yang mendalam kepada Islam tidak akan membuat seseorang menjadi seorang pelaku teror. Tetapi justru pemahaman yang mendalam dan benar kepad Islam akan menjadikan seorang pelaku kontra-teror. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin seperti yang disebutkan pada surah al-anbiya’ ayat 107, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam di utus oleh Allah untuk memberikan rahmat, memberikan kasih sayang kepada seluruh manusia. Tetapi perlu diingat juga mengenai pemaknaan disini tidak serta merta menyangkut kepada masalah-masalah yang bersifat final dalam Islam seperti aqidah.
Terorisme yang ada di Indonesia dalam faktanya sering sekali diidentikkan dengan hal-hal yang berbau Islam. Walaupun kita akui penduduk Indonesia meyoritas beragama Islam, tetapi tindakan penyimpulan seluruh aksi terorisme di Indonesia khususnya kepada agama Islam merupakan kesimpulan yang dangkal dan tidak Ilmiah. Dari sini maka kita wajib membedakan antara Islam dengan Muslim secara khusus. Islam merupakan agama yang telah paripurna dan tidak ada hal yang patut dipertanyakan terhadap agama tersebut. Tetapi muslim lain lagi dengan Islam, seorang muslim bukan-lah sesuatu yang sempurna. Peluang bagi seorang muslim untuk melakukan sesuatu keburukan atau kejahatan masih dapat dilakukan. Oleh karenanya pemaknaan seorang muslim maka dia membawa paham yang benar terhadap Islam patut dipahami terlebih dahulu.
Ada kisah hingga pertanyaan yang patut dipahami oleh para pengusung paham yang mengatasnamakan Islam dengan melaukan aksi kejahatan diatas. Islam sebagai agama yang benar dan paripurnah tidaklah mungkin akan menjerumuskan seseorang, atau mengajak seseorang kepada panasnya api neraka. Sebab Islam mengajarkan kepada umatnya untuk mengajak seseorang dari suatu kemaksiatan atau larangan dari Allah dan Rasul-Nya menuju hal-hal yang di ridhoi dan cintai Allah dan Rasul-Nya. Jika ada suatu tempat dimana disitu terjadi sesuatu yang dapat dikategorikan tempat maksiat hingga tempat menyekutukan Allah maka perbuatan terbaik bagi seorang muslim yang benar seperti apa ?. Maka jawaban yang tepat dan benar adalah mengajak untuk menjauhi tempat tersebut. Bukan malah melakukan aksi teror hingga bom sehingga tercipta ketakutan yang tidak sesuai terhadap sudut pandang Islam. Dakwah atau seruan yang baik adalah mengajak menuju kearah yang baik bukan malah melakukan aksi bom bunuh diri ditempat tersebut, sehingga seolah-olah orang yang melakukan bom bunuh diri tersebut telah mengajak orang-orang yang ditempat tersebut yang statusnya tempat haram menuju ke neraka secara langsung. Apakah seperti ini yang di ajarkan Islam ?. Pasti jawabannya tidak karena Islam telah dijelaskan sebagai agama yang mengajak ke surga-Nya bukan mengajak ke neraka-Nya Allah Subhanau Wa Ta’ala.

Selanjutnya, fenomena terorisme yang terjadi di Indonesia ini ternyata menumbulkan sikap antisipatif yang berlebihan terhadap Islam dalam mengerjakan aktifitasnya. Orang-orang Islam yang dalam kesehariannya ingin mencontohkan berbagai sunnah nabi Muhammad ternyata dimasukkan dalam orang-orang yang patut diwaspadai dengan dalih orang-orang tersebut setipe dengan orang-orang yang melakukan aksi-aksi terorisme. Buku-buku bertema syariat Jihad selanjutnya dijadikan barang bukti tindakan terorisme. Ceramah-ceramah bertema syariat Jihad hingga syariat-syariat lain pun tak segan-segan diawasi dengan terlalu berlebihan bahkan sampai kepada pemboikotan atau penolakan secara terang-terangan. Aktifitas kajian Islam secara intensif dianggap menjadi sarang perektrutan teroris. Bahkan tak segan menyebut salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia sebagai pro terhadap terorisme. Dan selanjutnya masih banyak contoh lain yang patut dikritisi terhadap analisis-analisis yang cenderung dangkal dan emosional ini.
Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia patut ikut terlibat dalam permasalahan mengenai penanganan terorisme di Indonesia. Fenomena terorisme yang saat ini telah mencoba menghidupkan citra Islam sebagai biang pelaku terorisme. Sehingga segala macam tindakan terorisme selalu dialamatkan kepada Islam. Yang mengakibatkan musuh-musuh atau pembenci Islam dari sebelum fenomena ini, melihat peluang untuk dapat melancarkan aksinya yakni memperburuk warwah Islam di Indonesia khusunya secara profesional. Yang patut diperhatiakan mengenai sikap Muhammadiyah terhadap kasus terorisme adalah mengenai kasus Siyono. Terduga teroris Siyono disebutkan bahwa telah meregang nyawa ditangan aparat tanpa adanya peradilan yang benar susuai aturan yang ada. Indonesia sebagai negara hukum tidak lah seharusnya menyelesaikan kasus terduga teroris tersebut tanpa adanya peradilan secara resmi. Tindakan aparat ini oleh Muhammadiyah dinilai melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Siyono yang dalam hal ini seorang muslim di cap sebagai terduga, dan belum jelas apakah benar-benar tersangka, tetapi telah dimatikan dengan tanpa keterangan dari terdakwa. Oleh karenanya Muhammadiyah sebagai ormas Islam mencoba mengadvokasi kelurga dari Siyono tersebut sehingga teranglah kebenaran mengenai permasalahan tindakan pencegahan terorisme yang dilakukan aparat ini.
Dalam hal ini kemudian muncullah isu politik yang menyangkut-pautkan kepada pembenturan Islam dan politik di Indonesia. Orang-orang yang dari awal telah benci terhadap Islam mendapat angin segar terhadap isu terorisme ini dengan terus meracik bahan-bahan penghancur politik Islam di Indonesia. Islam selanjutnya disangkut pautkan dengan terorisme sehingga dalam dinamika politk terjadi kesan menjauhkan Islam dengan Indonesia atau hiduplah paham sekulerisme.
Dalam kacamata Islam sesungguhnya demokrasi bukanlah sistem yang ideal apalagi demokrasi diterima pada falsafah dan pemikirannya. Dr. Adian Husaini menjelaskan mengenai perkara-perkara yang patut diperhatikan dalam pertentangan konsep Islam dan konsep demokrasi sehingga perlu dikritisi sebagai seorang muslim yakni sebagai berikut : Pertama, konsep rakyat dalam demokrasi modern dibatasi oleh batasan-batasan geografis yang ada disuatu negara. Sementara itu, konsep rakyat dalam Islam diikat oleh kesatuan akidah Islam, sepanjang dia muslim maka dia dapat menjadi bagian dari suatu negara Islam. Kedua, tujuan demokrasi Barat, semata-mata hanya untuk mengejar maksud keduniaan atau material, sementara dalam Islam politik dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia yang kembali kepada kemaslahatan akhirat. Ketiga, kekuasaan rakyat dalam demokrasi Barat besifat mutlak, sementara dalam Islam dibataasi olah aturan-aturan Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Tetapi dalam hal ini sejarah telah menyebutkan bahwa sistem yang diterapkan di Indonesia telah disepakati menggunakan sistem demokrasi dalam hal suksesi kepemimpianan secara nasional. Maka selanjutnya harus kembali melihat falsafah dasar negara Indonesia yakni Pancasila. Pancasila yang menjadi pedoman dasar dalam bernegara di Indonesia ini maka segala sistem yang berlaku di Indonesia haruslah sesuai dengan Pancasila. Indonesia dalam sejarahnya telah mencatat kesepakatan atau konsensus nasional bahwa dasar negara adalah Pancasila dengan sila atau poin pertama dalam Pancasila tersebut adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai ganti dari Piagam Jakarta yang bunyinya “Ketuhanan dengan Menjalankan Syriat Islam dari pemeluk-pemeluknya”. Jadi secara otomatis Indonesia dalam hal penerapan berbagai sistem tidaklah sekuler atau memisahkan urusan agama dengan urusan kenegeraan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pegangan yang patut diperhatikan pada setiap muslim di Indonesia. Dengan berbekal pancasila ini kemudian konsep Demokrasi yang diterapkan di Indonesia akan sudah seharusnya menyesuaikan kehidupan masyarakat Indonesia takterkecuali dalam permasalahan agama, terutama agama mayoritas penduduk Indonesia yakni Islam. Islam kemudian tidak terasa terpinggirkan dengan adanya konsep Pancasila ini, tetapi harus tetap diperjuangkan.
Muhammadiyah selanjutnya pada Muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015 lalu mengenalkan konsep kenegaraan di Indonesia. Negara Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara disebut oleh Muhammadiyah sebagai “Darul Ahdi Wa Syahadah”. Muhammadiyah memandang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara Pancasila yang sejalan dengan ajaran Islam. Kemudian disebutkan bahwa Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar as-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridha Allah Subhanau Wa Ta’ala. Pandangan ini selaras dengan cita-cita Islam tentang negara Idaman “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”, yaitu suatu negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah Ta’ala. Maka dari sini Muhammadiyah berusaha terus membangun Indonesia dalam konteks KeIslaman dan KeIndonesiaan menjadi Negara Pancasila yang Islami dan berkemajuan menuju perdaban utama. Wallahu a'lam


Oleh : Shofian Rahmat Apria